Pengantar
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja )
sebagai bagaian dari kajian keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja
secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran
atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena
rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran,
sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat
dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang
pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran
teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa
membutuhkan interpretasi sesuai dengan
konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti
kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan
berusaha dan berinisiatif (hurriyah
al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah) (Said Aqil
Siradj : 1998).
Berangkat dari pemikiran
diatas maka persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana meletakkan aswaja
sebagai metologi berfikir (manhaj
al-fikr)?.Jika mengharuskan untuk mengadakan sebuah pembaharuan makna
atau inpretasi, maka pembaharuan yang bagaimana
bisa relevan dengan kepentingan Islam dan Umatnya khususnya dalam intern
PMII. Apakah aswaja yang telah dikembangkan selama ini didalam tubuh PMII sudah
masuk dalam kategori proporsional? Inilah yang mungkin akan menjadi tulisan
dalam tulisan ini.
A.
Aswaja Dan Perkembangannya
Melacak akar-akar sejarah
munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak
Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami
perkembangan dengan tiga tahab secara evolutif.
Pertama, tahab embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik,
yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahab ini
masih merupakan tahab konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan
al-Basri (w.110 H/728 M).
Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah
Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum
kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara
intensif.
Ketiga, merupakan kristalisasi
teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima
metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh
tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan,
yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu Mansur
al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far al-Thahawi (w.331
H/944 M) di Mesir. ( Nourouzzaman Shidiqi : 1996). Pada zaman kristalisasi
inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan.Dan
munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah,
Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh As’ari sudah keluar dari paham yang
semestinya.
Lain dengan para Ulama’ NU
di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan
prinsip-prinsip tawasuth (moderat),
tasamuh (toleran) dan tawazzun
(seimbang). Perkembangkan
selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode
berfikir (manhaj al-fikr)
keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar
modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan
adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak
menarik lagi dihadapan dunia modern. Dari sinilah PMII menggunakan aswaja
sebagai manhaj al fikr dalam
landasan gerak.
B.
Aswaja
Sebagai Manhaj al-Fikr
Dalam wacana metode pemikiran, para teolog
klasik dapat dikategorikan menjadi empat
kelompok.
Pertama, kelompok rasioalis yang diwakili oleh aliran
Mu’tazilah yang pelapori oleh Washil bin Atho’,
Kedua, kelompok tekstualis dihidupkan dan dipertahankan
oleh aliran salaf yang munculkan oleh Ibnu Taimiyah serta generasi berikutnya.
Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada
politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syi’ah dan Khawarij, dan
Keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri
artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode
dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama.Walaupun banyak tokoh yang telah
mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai
sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevasinya dalam
kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika
dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali
diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah
forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai
sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu
saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya
‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi
konsep dasar aswaja di PMII.
Prinsip dasar
dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (mederat), tasamuh
(toleran) dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama yaitu tawasuth adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang
terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat
kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal
yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam
antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme
(tekstual) dan rasionalisme.Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang
kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan
sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan
apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan
hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat
tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari
Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri.Dan yang terakhir
adalah tawazzun
(seimbang).Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan,
baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik
sekalipun.Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam
berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan
yang tidak seharusnya.walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan
mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal
keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana
dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada
proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak
mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan
oportunis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar