1 Pengantar Kritik Ideologi
Secara etimologis istilah ideologi berasal dari kata “idea”
yang berarti “gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita”, dan “logos”
yang berarti “ilmu”. Kata idea berasal dari bahasa Yunani “ideos”
yang berarti bentuk, karena itu secara terminologis ideologi berarti ilmu
pengetahuan tentang ide-ide atau ajaran tentang pengertin-pengertian dasar.
Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang ide-ide,
pengertian-pengertian dasar, gagasan-gagasan, dan cita-cita.
Untuk lebih mendekatkan kita pada pengertian yang relevan dengan tema
makalah ini, penulis perlu mengemukakan tiga pandangan terkait kajian tentang
ideologi ini.
Pertama, de Tracy menjelaskan ideologi sebagai ”ilmu tentang gagasan”. Menurut de Tracy ideologi mencakup nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan
religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan, atau wawasan tentang dunia, etos
dan semacamnya. Pengertian ini sering di sebut sebagai pendekatan yang ‘netral’
tentang ideologi.
Kedua, ideologi dipersempit maknanya oleh Karl Marx dan Sigmund Freud sebagai sistem gagasan yang dapat digunakan
untuk ‘merasionalisasikan, memberikan teguran, memaafkan, menyerang atau
menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak dan pengaturan kultural tertentu.
Ketiga, ideologi tidak jarang dipandang negatif oleh
ilmuwan misalnya Arief
Budiman
mengungkapkan bahwa ideologi selalu bermakna tidak sesuai dengan
kebenaran. Pengetahuan yang bersifat ideologis, berarti pengetahuan yang lebih
sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, dari pada sarat dengan fakta-fakta
empirik. Bila anda berdebat, kemudian pandangan anda di tuduh ‘ideologis’
berarti anda dianggap bersikap subyektif, tidak kritis lagi terhadap kebenaran
yang ada. Dengan kata lain ideologi adalah pengetahuan yang menyesatkan, dan pelopor
pandangan ini adalah Marx.
Pengertian serupa dapat
dilihat dalam World Book Encyclopedia,
yang mendefiniskan: “Ideologi tidak didasarkan pada informasi faktual dalam
memperkuat kepercayaannya. Orang cenderung menerima sebuah sistem pikiran (atau
gagasan) tertentu ini tentu menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam
menjelaskan kenyataan yang ada.… Karena itu, orang yang secara kuat menganut ideologi tertentu mengalami
kesukaran mengerti dan berhubungan dengan penganut ideologi lain.”
Ketiga pandangan diatas,
sama–sama memiliki signifikansi bagi masing-masing kepentigan. Pengertian
pertama (de Tracy) penting untuk kepentingan pengetahuan dan penelitian, kedua
(Marx yang dibenarkan oleh Arif Budiman) penting untuk melakukan kritik
terhadap ideologi dominan (the dominant
ideology). Dan tentu bagi insan pergerakan, penting untuk mengetahui sisi
positif ideologi, yakni perannya sebagai “artikulasi kepentingan
gerakan/organisasi”. Memang ideologi diciptakan untuk memberi arah bagi
terpenuhinya kepentingan sebuah kelompok sosial tertentu. Ideologi dalam sebuah
gerakan sering di fungsikan untuk mengatur dan mengarahkan aktivitas gerakan.
Walaupun memang ideologi mengandung kemungkinan besar memanipulasi kebenaran,
tetapi tetap memiliki signifikansi bagi sebuah gerakan atau organisasi bahkan
partai politik.
Ada banyak ideologi besar di dunia seperti Marxisme, Sosialisme,
Liberalisme, Komunisme, Kapitalisme, Neo Liberalisme dan masih banyak lagi yang
mempunyai peranan sangan besar dalam kehidupan.
2 Bentukan
Intervensif dalam Ideologi
Ideologi di samping dapat
merupakan realitas yang mengejutkan, juga mampu mengemas aspek-aspek kehidupan
justru berubah menjadi bersifat ideologis. Hal tersebut menampak dalam
berfungsinya suatu aspek kehidupan sebagai ideologi, maka akan muncul misalnya
agama dijadikan ideologi, kebudayaan dijadikan ideologi, pembangunan dijadikan
ideologi, ekonomi dijadikan ideologi, strata sosial dijadikan ideologi. Dalam
kasus-kasus penyeberangan tersebut dua hal menampak terlukai yakni unsur
kebebasan dan unsur kemutlakan. Sementara itu pragmatisme sebagai suatu
de-ideologisasi, yakni memandang tempat ideologi tidak lagi begitu penting,
justru menampak sebagai ideologi. Pragmatisme sebagai suatu bentukan/kemasan
ideologi menunjuk bahwa segalanya harus tunduk pada pembangunan ekonomis
tehnis. Pada gilirannya muncullah ideologi pembangunan atau ideologi kemajuan
tertentu yang akan menganggap remeh orang-orang kecil, yang boleh digilas saja
demi mencapai tujuan.
Pertahanan kemasan ideologis
tersebut didukung oleh fenomena globalisasi. Fenomena globalisasi, seperti
halnya ideologi, bersifat ekuivokal dan elusif. Globalisasi menunjuk bukan
hanya realitas ekonomi (perdagangan bebas dunia, pragmatisme), tetapi juga
pemikiran alternatif di bidang ilmu dan filsafat sosial sehingga bersifat
paradigmatis. Dalam milenium ketiga ini paradigma globalisasi paling tidak
memuat delapan kriteria palsu (Sindhunata, 2003). Kriteria palsu tersebut
adalah de-teritorialisasi, trans-nasionalisme, multi-lokal dan trans-lokal,
imajinasi dalam kultur global, dilema kedaulatan, dilema demokrasi, bahaya
otoriterisme, universalisme palsu. Kepalsuan kriteria dalam globalisasi itu
nampak ketika mencermati cita-cita kesemestaan sejati yakni kesempurnaan
manusia dalam persaudaraan global. Sementara itu elan-vital dalam globalisasi
adalah persaingan sengit kebendaan, konsumerisme, polarisasi alienatif,
kelompok eksklusif. Giddens (1999) menengarai bahwa globalisasi memiliki modus
perombakan kehidupan manusia bertalian dengan risiko, tradisi, keluarga, dan
demokrasi. Sementara itu konsep globalisasi, secara embriotik, antara mitos dan
realitas, tercermin dalam Communist Manifesto “The need of a constantly
expanding market for its products chases the bourgeoisic over the whole surface
of the globe. It must nestle everywhere, settle everywhere, establish
connections everywhere” (Marx and Engels, 1998, p.54).
3 Kritik atas
Ideologi dan Paradigma Gerakan PMII
Sebagai kader PMII tentu saja
kita menghendaki PMII selalu menunjukkan bentuk dinamisnya dan peran historisnnya
tidak usang oleh perubahan jaman. Hal ini tentu saja membutuhkan keseriusan
dalam membina keorganisasian dan bahkan melakukan kritik dan otokritik terhadap
eksistensi dan kiprah PMII selama ini. Dalam tradisi keilmuan dan gerakan,
kritisisme adalah conditio sine qua none
yang mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis, peka sosial dan menjadi anak
zamannya. Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah yang akan
mampu menghantarkan PMII beserta kader-kadernya ‘melek sosial’ dan berperadaban
dimana ia tidak hanya menjadikan kader PMII lebih kritis dalam ranah perjuangan
perubahan. Lebih dari itu, kritisisme itu akan menjadi salah satu takaran
penting dalam mengejawantahkan berbagai nilai-nilai ideologis-paradigmatis PMII
dalam menjawab persoalan kekinian maupun akan datang.
Kritik-Otokritik gerakan PMII
meliputi dua hal utama, antara lain:
Pertama, berkaitan
dengan tatanan internal keorganisasian, yang bertumpu pada lima fakta
organisasi.
a. Ideologi dan paradigma gerakan
b. Sistem organisasi
c. Sistem pengkaderan
d. Strategi organisasi
e. Logistik organisasi.
Kedua, platform
dan pola relasi PMII dengan institusi, kekuatan dan realitas sekelilingnya,
yang meliputi:
a. Relasi PMII dengan negara
b. Relasi PMII dengan rakyat serta kekuatan sipil lainnya
c. Relasi PMII dengan kampus, gerakan mahasiswa dan pro demokrasi
d. Relasi PMII dengan kekuatan kapitalisme global.
Tak satupun organisasi
bergerak tanpa payung ideologi yang jelas. Ideologi berfungsi ibarat obor
penerang jalan kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang kerap dimaknai sebagai “a set of closely related belief, or ideas,
or even attitudes, characteristics of a group or community” (Plamenatz;
1970), akan menjadi titik pembeda antara PMII dengan organisasi kemahasiswaan
lainnya.
Dalam wilayah ideal, PMII mestinya mampu memerankan dirinya pada
kerja-kerja besar ideologi, mulai dari; pertama,
PMII mampu menjadi penggagas ideologi bagi diri dan masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud
kukuh dalam setiap gerakannya. Ini berarti PMII harus mampu menyusun dan
mengembangkan ideologinya, mulai dari postulasi pemikiran yang terkait dengan
seluruh aspek kehidupan masyarakat, hingga tafsir dan detail pengembangan dan
penggunaannya. Kalau hal ini tak tercapai, maka kedua, PMII berfungsi menjadi pendukung dan mufassir ideologi tertentu sebagai pembenar dalam setiap sikap dan
tindakannya. Dan ketiga, menggiring
PMII sebagai pengemban ideologi, dimana PMII menggerakkan diri dan
masyarakatnya untuk mencapai arah akhir dari ideologi anutannya. (bandingkan
dengan Hanief & Zaini; 2000).
Dalam intensitas dan spektrum
yang berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga bentuk peran tersebut, selama 4
(empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara terkotak-kotak dalam politik aliran
era Orde Lama Soekarno, yang menempatkan politik sebagai panglima, PMII
memainkan peran pendukung sekaligus ideologi politik Islam tradisionalis. Peran
ini menjebak PMII tercebur dalam kerja-kerja politik praktis yang menghilangkan
watak radikal dan independensinya sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan.
Begitu pula pada awal Orde
Baru ditegakkan, PMII masih berkutat dengan pergulatan Islam sebagai ideologi
politik dan tawaran developmentalisme
yang memaksakan depolitisasi aliran dan dealiranisasi politik. Titik balik
terjadi, ketika PMII kemudian mentahbiskan dirinya independen tidak terkait
dengan organisasi politik manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di Malang.
Independensi PMII ini bermakna hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan
tindakan siapapun dan hanya setia dengan perjuangan PMII sendiri serta
cita-cita perjuangan nasional berlandaskan Pancasila.
Puncaknya, independensi PMII
itu menjadi entry point upaya
pencarian jati diri organisasi yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai harus
mengurus dirinya sendiri tanpa menggantungkan dirinya dengan orang (kekuatan)
lain, sambil terus berpegang pada landasan yang berasal dari dalam tradisinya
sendiri serta kekuatan yang dibangunnya sendiri. Sikap ini telah mampu
mencairkan berbagai trauma-trauma politik dan gerakan PMII di masa sebelumnya,
hingga PMII memiliki keleluasaan gerak lebih lugas memilih peran-peran
intelekual, kemasyarakatan dan kritisisme terhadap agama maupun negara tanpa
terbebani oleh kejumudan tradisi (ortodoksi pemahaman keagamaan) ataupun
terbatasi oleh keterikatan politik dengan kekuatan manapun.
Perumusan ideologi PMII sangat
dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1). Kembalinya NU kepada khittah
1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azaz tunggal dalam
praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3). Serta dirumuskannya NDP PMII
dalam Konggres ke-8 tahun 1985. Bersamaan dengan itu kader PMII telah mulai
menyebar di berbagai kampus umum dan aktif bergerak di berbagai LSM untuk
melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat serta terlibat intens dalam aksi-aksi
jalanan melawan hegemoni negara.
Akhirnya pada paruh pertama
dasa warsa ‘90-an, berbagai rumusan ideologi dan paradigma gerakan PMII
terbentuk. Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan ideologi sekuler, melainkan
ideologi berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun oleh PMII menggambarkan
susunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dicita-citakan, dalam
keterkaitan di antara hubungan kekuasaan sesama manusia di dalam masyarakatnya
dengan pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai penguasa tertinggi berasal dari
tradisi pemahaman ke-Islaman dan bersumber dari nilai-nilai Aswaja (yang
dipandang sebagai manhaj al-fikr).
Sedangkan paradigma gerakan
PMII di bangun atas postulasi-postulasi dan nilai-nilai universal Islam serta
hasil dialog kreatif tradisi pemahaman Islam tradisional dengan background sosial dan historis
(tradisonal dan rural-agraris) aktifis PMII dan realitas sosial-politik khas
Indonesia. Paradigma gerakan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas S.
Kuhn yang memandang paradigma sebagai serangkaian konstelasi teori, pertanyaan,
pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah,
dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial
(Kuhn, 1962).
Dengan ideologi yang bersumber
dari agama, watak paradigma PMII pun tak lepas dari landasan teologis yang
dianutnya. Corak pemahaman teologis yang mempengaruhi cara pandang dan etos
gerakan PMII inilah yang nantinya menjadi pembeda dengan berbagai paradigma
gerakan mahasiswa atau kekuatan sipil lainnya. Akhirnya, PMII memilih paradigma
kritis transformatif sebagai paradigma gerakannya, bahkan rumusan ini termaktub
dengan jelas dalam Bab V pasal 6 Anggaran Dasar PMII hasil Kongres PMII Medan
tahun 2000 lalu.
Namun, harus disadari bahwa
masih banyak kelemahan dan ke-simpangsiur-an konsep maupun aplikasi praktis
dari bangunan ideologi dan paradigma gerakan PMII. Kritik atas ideologi dan
paradigma PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini, sebab ada beberapa
hal yang mesti dituntaskan berkaitan dengan persoalan tersebut.
Pertama, rumusan
teologis paradigma PMII selama ini didasarkan pada rumusan Aswaja dan NDP yang
masih normatif. Padahal proyek dekonstruksi Aswaja sampai hari ini masih terus
berlangsung dan belum menemukan konsepsi otoritatifnya. Bagaimana PMII kemudian
berani mendasarkan landasan teologisnya pada sebuah diskursus dekonstruksi dan
rekonstruksi Aswaja yang belum usai, menyimpan kontradiksi di sana-sini, belum
ada bangunan epistimologisnya, dan dipenuhi perdebatan teologis dari pemikir
Islam tradisional? Jangan-jangan ini hanya menjadi semacam “kegenitan”
intelektual” para aktifis PMII yang kemudian menjadikan rumusan teologis PMII
sebagai media “uji coba” dalam mencari konsepsi teologis Islam tradisional yang
paling sesui dengan gerak dinamika sosial dan sejarah?.
Sekitar tahun 1996-1997-an,
PMII mengangkat tema teologi antroposentrisme-transendental sebagai landasan
paradigma gerakannya. Konstelasi ini menempatkan manusia sebagai subyek utama
yang melakukan tugas dan fungsi Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl), dimana manusia tidak diletakkan pada dua
kutub yang diametral dan kontradiktif, yakni di satu sisi sebagai khalifatullah yang memiliki tugas
memakmurkan bumi dan menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan keadilan, dan
di sisi lain sebagai abdullah yang
mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah dengan penuh kepasrahan. Namun,
sebagai totalitas kesatuan kekhalifahan dan abdullah
sekaligus, yakni menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling tinggi,
sebagai khalifah Allah di muka bumi dan sebagai makhluk yang mempunyai
kemampuan fitri dan akali (PB PMII, 1997).
Postulasi pandangan teologis seperti ini memang lebih maju sebagai upaya
penafsiran atas normatifitas NDP PMII, namun sebenarnya belum memberikan
jawaban apapun atas berbagai persoalan dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah
hampir satu dasa warsa ini diperdebatkan. Apalagi kalau kemudian
konsepsi ini digugat dengan realitas di lapangan, bahwa tidak ada korelasi
positif antara pandangan teologis PMII ini dengan seluruh etos dan pola gerakan
PMII hari ini. Sementara itu PMII telah memilih transformasi sebagai pilihan
paradigmanya, padahal pandangan teologis antroposentrisme-transendental PMII
masih belum mampu menjawab apa bangunan epistimologisnya, realitas wujudnya dan
corak serta watak teologi apa yang sebenarnya dihasilkan, apakah revolusioner?
Transformatif ? Normatif ? Atau bahkan malah fundamentalis-formalistik ?
Sungguh masih sangat banyak pertanyaan dan problema yang muncul dari berbagai
rumusan teologis yang telah PMII klaim sebagai basis ideologi dan paradigmanya.
Kedua, rumusan sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang dan waktu
(space and time) serta harus bersifat
terbuka atas perubahan (open ended).
Artinya, paradigma PMII ini akan mengalami deviasi atau shifting paradigm yang akan melahirkan sebuah community consensus baru, hal ini akan berlangung terus menerus.
Karena itu, watak paradigma PMII adalah temporal/ tidak permanen, dan akan
terus mengalami perubahan sebagai bentuk tuntutan penyesuaian atas watak
dinamis gerak sejarah kemanusiaan yang terus berkembang dan berubah-ubah.
Persoalan menjadi muncul,
tatkala PMII membakukan konsepsi paradigma kritis transformatif tersebut dalam
Anggaran Dasarnya (AD). Sebab, dengan memasukkan paradigma tersebut dalam AD
PMII, seakan-akan menyiratkan bahwa rumuan paradigma itu digiring untuk
dipermanenkan di PMII. Ini adalah kontradiktif dengan watak sebuah paradigma
itu sendiri yang sangat terikat oleh relatifitas space and time, dan itu artinya tidak permanen dan sangat mungkin
dirubah, sesuai dengan konteks dimana serta kapan paradigma itu diterapkan.
Sangat wajar, jika kemudian 2
tahun terakhir ini mulai dipertanyakan kembali rumusan teologis dan paradigma
gerakan PMII itu oleh beberapa aktifis PMII sendiri? Sebab kenyataannya, tidak
ada relasi timbal-balik antara rumusan teologis dan paradigma itu dengan
seluruh aktifitas yang dilakukan oleh PMII di seluruh tingkatan? Sulit
menyimpulkan apakah kalau PMII itu melakukan aksi jalanan ataupun pemikiran itu
dijiwai / disemangati oleh landasan teologis dan paradigma PMII sendiri.
4 Wacana Ideologi Alternatif
Pencermatan akan kandungan kritik-kritik tersebut, baik pada ideologi
melaksanakan kritik maupun pada ideologi mengalami kritik, mengantar pada
refleksi bahwa ideologi mengalami kritik ilmiah cenderung jauh dari
signifikansi ideologisnya. Ideologi
kapitalisme dan ideologi sosialisme telah menoreh noktah-noktah destruktif bagi
kehidupan masyarakat yang beradab, memperkosa harkat martabat manusia. Ideologi Kapitalisme bertahan
karena kemampuannya memperoleh dukungan politik. Hal tersebut bertalian dengan
sistem kelas, di samping mekanisme untuk mempertahankan legitimasi (proses
demokratik, persaingan antar partai, reformasi sosial, kesejahteraan). Namun
nampak kesulitan mempertahankan legitimasi suatu sistem politik yang
berdasarkan kekuatan kelas yang tidak sama. Di samping itu terdapat
kecenderungan krisis yang terjadi dalam masyarakat kapitalis, yang akan
mempersulit pertahanan stabilitas politik melalui persetujuan belaka.
Masyarakat kapitalis memungkinkan konflk antara logika akumulasi kapitalis
dengan tekanan dari rakyat yang menuntut partisipasi dan persamaan lebih besar.
Kondisi yang demikian itulah yang akan mempersulit pertahanan legitimasi.
Paradigma negara kesejahteraan merupakan obsesi negara-negara Barat dalam
mengantisipasi kesulitan pertahanan legitimasi. Tetapi paradigma tersebut juga
menghadapi kesulitan, sehingga dicari berbagai jalan tengah (Giddens, 1998;
Giddens, 2000).
Ideologi sosialisme bertahan karena
paradigma bahwa semua orang akan memberi menurut kecakapannya dan akan menerima
menurut kebutuhannya. Tetapi paradigam
tersebut menghadapi kesulitan yakni memerlukan kewenangan yang akan mengatur
kebutuhan dan kecakapan. Sementara itu masyarakat merupakan kumpulan
individu-individu, sehingga kebahagiaan seseorang pada gilirannya akan
memajukan kebahagaan orang-orang lain. Maka parameter kemajuan masyarakat
adalah kemajuan para individu yang membentuknya. Pada galibnya ideologi
sosialisme mencari identifikasi diri pada kemajuan menghadapi konservatif dan
penderitaan yang mengalami ketimpangan. Sementara itu pencarian identifikasi
diri tersebut menghadapi kekurangan
asas-asas kebebasan dan subjektivitas, dan sering gagal sebagai suatu sistem
ekonomik dan meragukan dalam hal moral (Murchland, 1992).
Dilema pada ideologi
kapitalisme dan ideologi sosialisme tersebut mengusik wacana ideologi
alternatif. Sementara itu wacana alternatif ideologi dirasa akan memfungsikan
aspek-aspek kehidupan sebagai suatu ideologi, sehingga justru akan menimbulkan
permasalahan substantif. Hal itu misalnya akan nampak dalam ideologi ilmu yang
bebas nilai, ideologi agama yang inklusif-fundamentalistik. Sedangkan ketika paradigma agama diantisipasi sebagai
modus pencarian ideologi alternatif ( agama pascaideologi) akan menimbulkan
polemik di dalam dirinya sendiri dan polemik agama sebagai sistem sosial yang
komprehensif (Maksum, ed. 1994).
Wacana humanisme sebagai
ideologi alternatif dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut. Humanisme pada
galibnya bersifat anthroposentris, merupakan paradigma pikiran yang
memperjuangkan dihormatinya manusia dengan harkat dan martabatnya serta
penempatan manusia sebagai pusat perjuangan pembudayaan (tanggapan manusia
untukmemenuhi kebutuhan akan makna dalam berbagai ekspresi) dan peradaban
(kebudayaan diarahkan pada proses humanisasi atau pemanusiawian dunia).
Paradigma tersebut mengandung beberapa butir analisis sebagai berikut.
Humanisme merupakan arus peradaban, yang menempatkan manusia di satu pihak
sebagai pusat dan sumber makna segala sesuatu yang pada gilirannya menjadi
berharga dalam hidup, di lain pihak menempatkan manusia sebagai pelaku proses
sejarah. Humanisme memungkinkan pembangunsadaran kritis dirinya terhadap
hegemoni makna atau manipulasi kesadaran kritis, sehingga peziarahan humanisme
mencapai suatu transformasi bagi kesadaran naif dan kesadaran magis. Proses
yang dilakukan lewat pendidikan atau aksi budaya yang bertujuan untuk semakin
memekarkan ruang hidup manusia sebagai pusat merupakan suatu proses humanisasi
atau pemanusiawian dunia (Sutrisno, 2001).
Pranarka (1971) menyebut
paradigma humanisme baru untuk menunjukkan bahwa semua dapat bekerja untuk
semua, semua membangun untuk semua, semua berbahagia bersama semua. Humanisme
baru dibangkitkan oleh proses sejarah itu sendiri. Humanisme baru berprinsip
bahwa manusia merupakan faktor penentu dalam sejarah, dan semakin memilih untuk
berbuat baik daripada melakukan yang jahat, memilih membangun daripada merusak,
memilih perdamaian daripada peperangan dan pembunuhan, memilih pengabdian
daripada adu kekuatan. Di situ terdapat penegasan pilihan antara humanisme
theis, a-theis, atau independent?! Dengan otonomi, independensi dan mentalitas
kritis yang tidak absolut, humanisme baru diantisipasi dapat merupakan ideologi
alternatif dalam mengkritisi kemasan ideologi-ideologi. Di dalam humanisme baru
maka fajar-baru-umat-manusia diantisipasi menyingsingkan kecerdasan spiritual
yang berintikan kepekaan hati-nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar