"Memastikan Pengetahuan adalah Kekuatan, Memastikan Gerakan Membawa Perubahan" Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Majene - Taqwa Intelektual dan Profesional

Minggu, 06 November 2016

KRITIK IDEOLOGI





1 Pengantar Kritik Ideologi

 Secara etimologis istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti “gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita”, dan “logos” yang berarti “ilmu”. Kata idea berasal dari bahasa Yunani “ideos” yang berarti bentuk, karena itu secara terminologis ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide atau ajaran tentang pengertin-pengertian dasar. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang ide-ide, pengertian-pengertian dasar, gagasan-gagasan, dan cita-cita.

Untuk lebih mendekatkan kita pada pengertian yang relevan dengan tema makalah ini, penulis perlu mengemukakan tiga pandangan terkait kajian tentang ideologi ini.

Pertama, de Tracy menjelaskan ideologi sebagai ”ilmu tentang gagasan”. Menurut de Tracy ideologi mencakup nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan, atau wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Pengertian ini sering di sebut sebagai pendekatan yang ‘netral’ tentang ideologi.

Kedua, ideologi dipersempit maknanya oleh Karl Marx dan Sigmund Freud sebagai sistem gagasan yang dapat digunakan untuk ‘merasionalisasikan, memberikan teguran, memaafkan, menyerang atau menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak dan pengaturan kultural tertentu.

Ketiga, ideologi tidak jarang dipandang negatif oleh ilmuwan misalnya Arief Budiman mengungkapkan bahwa ideologi selalu bermakna tidak sesuai dengan kebenaran. Pengetahuan yang bersifat ideologis, berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, dari pada sarat dengan fakta-fakta empirik. Bila anda berdebat, kemudian pandangan anda di tuduh ‘ideologis’ berarti anda dianggap bersikap subyektif, tidak kritis lagi terhadap kebenaran yang ada. Dengan kata lain ideologi adalah pengetahuan yang menyesatkan, dan pelopor pandangan ini adalah Marx.

Pengertian serupa dapat dilihat dalam World Book Encyclopedia, yang mendefiniskan: “Ideologi tidak didasarkan pada informasi faktual dalam memperkuat kepercayaannya. Orang cenderung menerima sebuah sistem pikiran (atau gagasan) tertentu ini tentu menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam menjelaskan kenyataan yang ada.… Karena itu, orang yang secara kuat menganut ideologi tertentu mengalami kesukaran mengerti dan berhubungan dengan penganut ideologi lain.”

Ketiga pandangan diatas, sama–sama memiliki signifikansi bagi masing-masing kepentigan. Pengertian pertama (de Tracy) penting untuk kepentingan pengetahuan dan penelitian, kedua (Marx yang dibenarkan oleh Arif Budiman) penting untuk melakukan kritik terhadap ideologi dominan (the dominant ideology). Dan tentu bagi insan pergerakan, penting untuk mengetahui sisi positif ideologi, yakni perannya sebagai “artikulasi kepentingan gerakan/organisasi”. Memang ideologi diciptakan untuk memberi arah bagi terpenuhinya kepentingan sebuah kelompok sosial tertentu. Ideologi dalam sebuah gerakan sering di fungsikan untuk mengatur dan mengarahkan aktivitas gerakan. Walaupun memang ideologi mengandung kemungkinan besar memanipulasi kebenaran, tetapi tetap memiliki signifikansi bagi sebuah gerakan atau organisasi bahkan partai politik.

Ada banyak ideologi besar di dunia seperti Marxisme, Sosialisme, Liberalisme, Komunisme, Kapitalisme, Neo Liberalisme dan masih banyak lagi yang mempunyai peranan sangan besar dalam kehidupan.



2 Bentukan Intervensif dalam Ideologi



Ideologi di samping dapat merupakan realitas yang mengejutkan, juga mampu mengemas aspek-aspek kehidupan justru berubah menjadi bersifat ideologis. Hal tersebut menampak dalam berfungsinya suatu aspek kehidupan sebagai ideologi, maka akan muncul misalnya agama dijadikan ideologi, kebudayaan dijadikan ideologi, pembangunan dijadikan ideologi, ekonomi dijadikan ideologi, strata sosial dijadikan ideologi. Dalam kasus-kasus penyeberangan tersebut dua hal menampak terlukai yakni unsur kebebasan dan unsur kemutlakan. Sementara itu pragmatisme sebagai suatu de-ideologisasi, yakni memandang tempat ideologi tidak lagi begitu penting, justru menampak sebagai ideologi. Pragmatisme sebagai suatu bentukan/kemasan ideologi menunjuk bahwa segalanya harus tunduk pada pembangunan ekonomis tehnis. Pada gilirannya muncullah ideologi pembangunan atau ideologi kemajuan tertentu yang akan menganggap remeh orang-orang kecil, yang boleh digilas saja demi mencapai tujuan.

Pertahanan kemasan ideologis tersebut didukung oleh fenomena globalisasi. Fenomena globalisasi, seperti halnya ideologi, bersifat ekuivokal dan elusif. Globalisasi menunjuk bukan hanya realitas ekonomi (perdagangan bebas dunia, pragmatisme), tetapi juga pemikiran alternatif di bidang ilmu dan filsafat sosial sehingga bersifat paradigmatis. Dalam milenium ketiga ini paradigma globalisasi paling tidak memuat delapan kriteria palsu (Sindhunata, 2003). Kriteria palsu tersebut adalah de-teritorialisasi, trans-nasionalisme, multi-lokal dan trans-lokal, imajinasi dalam kultur global, dilema kedaulatan, dilema demokrasi, bahaya otoriterisme, universalisme palsu. Kepalsuan kriteria dalam globalisasi itu nampak ketika mencermati cita-cita kesemestaan sejati yakni kesempurnaan manusia dalam persaudaraan global. Sementara itu elan-vital dalam globalisasi adalah persaingan sengit kebendaan, konsumerisme, polarisasi alienatif, kelompok eksklusif. Giddens (1999) menengarai bahwa globalisasi memiliki modus perombakan kehidupan manusia bertalian dengan risiko, tradisi, keluarga, dan demokrasi. Sementara itu konsep globalisasi, secara embriotik, antara mitos dan realitas, tercermin dalam Communist Manifesto “The need of a constantly expanding market for its products chases the bourgeoisic over the whole surface of the globe. It must nestle everywhere, settle everywhere, establish connections everywhere” (Marx and Engels, 1998, p.54).



3 Kritik atas Ideologi dan Paradigma Gerakan PMII


Sebagai kader PMII tentu saja kita menghendaki PMII selalu menunjukkan bentuk dinamisnya dan peran historisnnya tidak usang oleh perubahan jaman. Hal ini tentu saja membutuhkan keseriusan dalam membina keorganisasian dan bahkan melakukan kritik dan otokritik terhadap eksistensi dan kiprah PMII selama ini. Dalam tradisi keilmuan dan gerakan, kritisisme adalah conditio sine qua none yang mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis, peka sosial dan menjadi anak zamannya. Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah yang akan mampu menghantarkan PMII beserta kader-kadernya ‘melek sosial’ dan berperadaban dimana ia tidak hanya menjadikan kader PMII lebih kritis dalam ranah perjuangan perubahan. Lebih dari itu, kritisisme itu akan menjadi salah satu takaran penting dalam mengejawantahkan berbagai nilai-nilai ideologis-paradigmatis PMII dalam menjawab persoalan kekinian maupun akan datang.

Kritik-Otokritik gerakan PMII meliputi dua hal utama, antara lain:

Pertama, berkaitan dengan tatanan internal keorganisasian, yang bertumpu pada lima fakta organisasi.

a.       Ideologi dan paradigma gerakan

b.      Sistem organisasi

c.       Sistem pengkaderan

d.      Strategi organisasi

e.       Logistik organisasi.

Kedua, platform dan pola relasi PMII dengan institusi, kekuatan dan realitas sekelilingnya, yang meliputi:

a.       Relasi PMII dengan negara

b.      Relasi PMII dengan rakyat serta kekuatan sipil lainnya

c.       Relasi PMII dengan kampus, gerakan mahasiswa dan pro demokrasi

d.      Relasi PMII dengan kekuatan kapitalisme global.



Tak satupun organisasi bergerak tanpa payung ideologi yang jelas. Ideologi berfungsi ibarat obor penerang jalan kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang kerap dimaknai sebagai “a set of closely related belief, or ideas, or even attitudes, characteristics of a group or community” (Plamenatz; 1970), akan menjadi titik pembeda antara PMII dengan organisasi kemahasiswaan lainnya.

Dalam wilayah ideal, PMII mestinya mampu memerankan dirinya pada kerja-kerja besar ideologi, mulai dari; pertama, PMII mampu menjadi penggagas ideologi bagi diri dan masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud kukuh dalam setiap gerakannya. Ini berarti PMII harus mampu menyusun dan mengembangkan ideologinya, mulai dari postulasi pemikiran yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat, hingga tafsir dan detail pengembangan dan penggunaannya. Kalau hal ini tak tercapai, maka kedua, PMII berfungsi menjadi pendukung dan mufassir ideologi tertentu sebagai pembenar dalam setiap sikap dan tindakannya. Dan ketiga, menggiring PMII sebagai pengemban ideologi, dimana PMII menggerakkan diri dan masyarakatnya untuk mencapai arah akhir dari ideologi anutannya. (bandingkan dengan Hanief & Zaini; 2000).

Dalam intensitas dan spektrum yang berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga bentuk peran tersebut, selama 4 (empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara terkotak-kotak dalam politik aliran era Orde Lama Soekarno, yang menempatkan politik sebagai panglima, PMII memainkan peran pendukung sekaligus ideologi politik Islam tradisionalis. Peran ini menjebak PMII tercebur dalam kerja-kerja politik praktis yang menghilangkan watak radikal dan independensinya sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan.

Begitu pula pada awal Orde Baru ditegakkan, PMII masih berkutat dengan pergulatan Islam sebagai ideologi politik dan tawaran developmentalisme yang memaksakan depolitisasi aliran dan dealiranisasi politik. Titik balik terjadi, ketika PMII kemudian mentahbiskan dirinya independen tidak terkait dengan organisasi politik manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di Malang. Independensi PMII ini bermakna hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan tindakan siapapun dan hanya setia dengan perjuangan PMII sendiri serta cita-cita perjuangan nasional berlandaskan Pancasila.

Puncaknya, independensi PMII itu menjadi entry point upaya pencarian jati diri organisasi yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai harus mengurus dirinya sendiri tanpa menggantungkan dirinya dengan orang (kekuatan) lain, sambil terus berpegang pada landasan yang berasal dari dalam tradisinya sendiri serta kekuatan yang dibangunnya sendiri. Sikap ini telah mampu mencairkan berbagai trauma-trauma politik dan gerakan PMII di masa sebelumnya, hingga PMII memiliki keleluasaan gerak lebih lugas memilih peran-peran intelekual, kemasyarakatan dan kritisisme terhadap agama maupun negara tanpa terbebani oleh kejumudan tradisi (ortodoksi pemahaman keagamaan) ataupun terbatasi oleh keterikatan politik dengan kekuatan manapun.

Perumusan ideologi PMII sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1). Kembalinya NU kepada khittah 1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azaz tunggal dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3). Serta dirumuskannya NDP PMII dalam Konggres ke-8 tahun 1985. Bersamaan dengan itu kader PMII telah mulai menyebar di berbagai kampus umum dan aktif bergerak di berbagai LSM untuk melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat serta terlibat intens dalam aksi-aksi jalanan melawan hegemoni negara.

Akhirnya pada paruh pertama dasa warsa ‘90-an, berbagai rumusan ideologi dan paradigma gerakan PMII terbentuk. Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan ideologi sekuler, melainkan ideologi berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun oleh PMII menggambarkan susunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dicita-citakan, dalam keterkaitan di antara hubungan kekuasaan sesama manusia di dalam masyarakatnya dengan pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai penguasa tertinggi berasal dari tradisi pemahaman ke-Islaman dan bersumber dari nilai-nilai Aswaja (yang dipandang sebagai manhaj al-fikr).

Sedangkan paradigma gerakan PMII di bangun atas postulasi-postulasi dan nilai-nilai universal Islam serta hasil dialog kreatif tradisi pemahaman Islam tradisional dengan background sosial dan historis (tradisonal dan rural-agraris) aktifis PMII dan realitas sosial-politik khas Indonesia. Paradigma gerakan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas S. Kuhn yang memandang paradigma sebagai serangkaian konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah, dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial (Kuhn, 1962).

Dengan ideologi yang bersumber dari agama, watak paradigma PMII pun tak lepas dari landasan teologis yang dianutnya. Corak pemahaman teologis yang mempengaruhi cara pandang dan etos gerakan PMII inilah yang nantinya menjadi pembeda dengan berbagai paradigma gerakan mahasiswa atau kekuatan sipil lainnya. Akhirnya, PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai paradigma gerakannya, bahkan rumusan ini termaktub dengan jelas dalam Bab V pasal 6 Anggaran Dasar PMII hasil Kongres PMII Medan tahun 2000 lalu.

Namun, harus disadari bahwa masih banyak kelemahan dan ke-simpangsiur-an konsep maupun aplikasi praktis dari bangunan ideologi dan paradigma gerakan PMII. Kritik atas ideologi dan paradigma PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini, sebab ada beberapa hal yang mesti dituntaskan berkaitan dengan persoalan tersebut.

Pertama, rumusan teologis paradigma PMII selama ini didasarkan pada rumusan Aswaja dan NDP yang masih normatif. Padahal proyek dekonstruksi Aswaja sampai hari ini masih terus berlangsung dan belum menemukan konsepsi otoritatifnya. Bagaimana PMII kemudian berani mendasarkan landasan teologisnya pada sebuah diskursus dekonstruksi dan rekonstruksi Aswaja yang belum usai, menyimpan kontradiksi di sana-sini, belum ada bangunan epistimologisnya, dan dipenuhi perdebatan teologis dari pemikir Islam tradisional? Jangan-jangan ini hanya menjadi semacam “kegenitan” intelektual” para aktifis PMII yang kemudian menjadikan rumusan teologis PMII sebagai media “uji coba” dalam mencari konsepsi teologis Islam tradisional yang paling sesui dengan gerak dinamika sosial dan sejarah?.

Sekitar tahun 1996-1997-an, PMII mengangkat tema teologi antroposentrisme-transendental sebagai landasan paradigma gerakannya. Konstelasi ini menempatkan manusia sebagai subyek utama yang melakukan tugas dan fungsi Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl), dimana manusia tidak diletakkan pada dua kutub yang diametral dan kontradiktif, yakni di satu sisi sebagai khalifatullah yang memiliki tugas memakmurkan bumi dan menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan keadilan, dan di sisi lain sebagai abdullah yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah dengan penuh kepasrahan. Namun, sebagai totalitas kesatuan kekhalifahan dan abdullah sekaligus, yakni menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling tinggi, sebagai khalifah Allah di muka bumi dan sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan fitri dan akali (PB PMII, 1997).

Postulasi pandangan teologis seperti ini memang lebih maju sebagai upaya penafsiran atas normatifitas NDP PMII, namun sebenarnya belum memberikan jawaban apapun atas berbagai persoalan dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah hampir satu dasa warsa ini diperdebatkan. Apalagi kalau kemudian konsepsi ini digugat dengan realitas di lapangan, bahwa tidak ada korelasi positif antara pandangan teologis PMII ini dengan seluruh etos dan pola gerakan PMII hari ini. Sementara itu PMII telah memilih transformasi sebagai pilihan paradigmanya, padahal pandangan teologis antroposentrisme-transendental PMII masih belum mampu menjawab apa bangunan epistimologisnya, realitas wujudnya dan corak serta watak teologi apa yang sebenarnya dihasilkan, apakah revolusioner? Transformatif ? Normatif ? Atau bahkan malah fundamentalis-formalistik ? Sungguh masih sangat banyak pertanyaan dan problema yang muncul dari berbagai rumusan teologis yang telah PMII klaim sebagai basis ideologi dan paradigmanya.

Kedua, rumusan sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang dan waktu (space and time) serta harus bersifat terbuka atas perubahan (open ended). Artinya, paradigma PMII ini akan mengalami deviasi atau shifting paradigm yang akan melahirkan sebuah community consensus baru, hal ini akan berlangung terus menerus. Karena itu, watak paradigma PMII adalah temporal/ tidak permanen, dan akan terus mengalami perubahan sebagai bentuk tuntutan penyesuaian atas watak dinamis gerak sejarah kemanusiaan yang terus berkembang dan berubah-ubah.

Persoalan menjadi muncul, tatkala PMII membakukan konsepsi paradigma kritis transformatif tersebut dalam Anggaran Dasarnya (AD). Sebab, dengan memasukkan paradigma tersebut dalam AD PMII, seakan-akan menyiratkan bahwa rumuan paradigma itu digiring untuk dipermanenkan di PMII. Ini adalah kontradiktif dengan watak sebuah paradigma itu sendiri yang sangat terikat oleh relatifitas space and time, dan itu artinya tidak permanen dan sangat mungkin dirubah, sesuai dengan konteks dimana serta kapan paradigma itu diterapkan.

Sangat wajar, jika kemudian 2 tahun terakhir ini mulai dipertanyakan kembali rumusan teologis dan paradigma gerakan PMII itu oleh beberapa aktifis PMII sendiri? Sebab kenyataannya, tidak ada relasi timbal-balik antara rumusan teologis dan paradigma itu dengan seluruh aktifitas yang dilakukan oleh PMII di seluruh tingkatan? Sulit menyimpulkan apakah kalau PMII itu melakukan aksi jalanan ataupun pemikiran itu dijiwai / disemangati oleh landasan teologis dan paradigma PMII sendiri.


4 Wacana Ideologi Alternatif

Pencermatan akan kandungan kritik-kritik tersebut, baik pada ideologi melaksanakan kritik maupun pada ideologi mengalami kritik, mengantar pada refleksi bahwa ideologi mengalami kritik ilmiah cenderung jauh dari signifikansi ideologisnya.  Ideologi kapitalisme dan ideologi sosialisme telah menoreh noktah-noktah destruktif bagi kehidupan masyarakat yang beradab, memperkosa harkat martabat manusia. Ideologi Kapitalisme bertahan karena kemampuannya memperoleh dukungan politik. Hal tersebut bertalian dengan sistem kelas, di samping mekanisme untuk mempertahankan legitimasi (proses demokratik, persaingan antar partai, reformasi sosial, kesejahteraan). Namun nampak kesulitan mempertahankan legitimasi suatu sistem politik yang berdasarkan kekuatan kelas yang tidak sama. Di samping itu terdapat kecenderungan krisis yang terjadi dalam masyarakat kapitalis, yang akan mempersulit pertahanan stabilitas politik melalui persetujuan belaka. Masyarakat kapitalis memungkinkan konflk antara logika akumulasi kapitalis dengan tekanan dari rakyat yang menuntut partisipasi dan persamaan lebih besar. Kondisi yang demikian itulah yang akan mempersulit pertahanan legitimasi. Paradigma negara kesejahteraan merupakan obsesi negara-negara Barat dalam mengantisipasi kesulitan pertahanan legitimasi. Tetapi paradigma tersebut juga menghadapi kesulitan, sehingga dicari berbagai jalan tengah (Giddens, 1998; Giddens, 2000).

Ideologi sosialisme bertahan karena paradigma bahwa semua orang akan memberi menurut kecakapannya dan akan menerima menurut  kebutuhannya. Tetapi paradigam tersebut menghadapi kesulitan yakni memerlukan kewenangan yang akan mengatur kebutuhan dan kecakapan. Sementara itu masyarakat merupakan kumpulan individu-individu, sehingga kebahagiaan seseorang pada gilirannya akan memajukan kebahagaan orang-orang lain. Maka parameter kemajuan masyarakat adalah kemajuan para individu yang membentuknya. Pada galibnya ideologi sosialisme mencari identifikasi diri pada kemajuan menghadapi konservatif dan penderitaan yang mengalami ketimpangan. Sementara itu pencarian identifikasi diri tersebut menghadapi  kekurangan asas-asas kebebasan dan subjektivitas, dan sering gagal sebagai suatu sistem ekonomik dan meragukan dalam hal moral (Murchland, 1992).

Dilema pada ideologi kapitalisme dan ideologi sosialisme tersebut mengusik wacana ideologi alternatif. Sementara itu wacana alternatif ideologi dirasa akan memfungsikan aspek-aspek kehidupan sebagai suatu ideologi, sehingga justru akan menimbulkan permasalahan substantif. Hal itu misalnya akan nampak dalam ideologi ilmu yang bebas nilai, ideologi agama yang inklusif-fundamentalistik. Sedangkan  ketika paradigma agama diantisipasi sebagai modus pencarian ideologi alternatif ( agama pascaideologi) akan menimbulkan polemik di dalam dirinya sendiri dan polemik agama sebagai sistem sosial yang komprehensif (Maksum, ed. 1994).

Wacana humanisme sebagai ideologi alternatif dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut. Humanisme pada galibnya bersifat anthroposentris, merupakan paradigma pikiran yang memperjuangkan dihormatinya manusia dengan harkat dan martabatnya serta penempatan manusia sebagai pusat perjuangan pembudayaan (tanggapan manusia untukmemenuhi kebutuhan akan makna dalam berbagai ekspresi) dan peradaban (kebudayaan diarahkan pada proses humanisasi atau pemanusiawian dunia). Paradigma tersebut mengandung beberapa butir analisis sebagai berikut. Humanisme merupakan arus peradaban, yang menempatkan manusia di satu pihak sebagai pusat dan sumber makna segala sesuatu yang pada gilirannya menjadi berharga dalam hidup, di lain pihak menempatkan manusia sebagai pelaku proses sejarah. Humanisme memungkinkan pembangunsadaran kritis dirinya terhadap hegemoni makna atau manipulasi kesadaran kritis, sehingga peziarahan humanisme mencapai suatu transformasi bagi kesadaran naif dan kesadaran magis. Proses yang dilakukan lewat pendidikan atau aksi budaya yang bertujuan untuk semakin memekarkan ruang hidup manusia sebagai pusat merupakan suatu proses humanisasi atau pemanusiawian dunia (Sutrisno, 2001).

Pranarka (1971) menyebut paradigma humanisme baru untuk menunjukkan bahwa semua dapat bekerja untuk semua, semua membangun untuk semua, semua berbahagia bersama semua. Humanisme baru dibangkitkan oleh proses sejarah itu sendiri. Humanisme baru berprinsip bahwa manusia merupakan faktor penentu dalam sejarah, dan semakin memilih untuk berbuat baik daripada melakukan yang jahat, memilih membangun daripada merusak, memilih perdamaian daripada peperangan dan pembunuhan, memilih pengabdian daripada adu kekuatan. Di situ terdapat penegasan pilihan antara humanisme theis, a-theis, atau independent?! Dengan otonomi, independensi dan mentalitas kritis yang tidak absolut, humanisme baru diantisipasi dapat merupakan ideologi alternatif dalam mengkritisi kemasan ideologi-ideologi. Di dalam humanisme baru maka fajar-baru-umat-manusia diantisipasi menyingsingkan kecerdasan spiritual yang berintikan kepekaan hati-nurani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar