Paradigma
merupakan suatu yang vital bagi pergerakan organisasi. Karena paradigma
merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang
sebuah persoalan yang akan termanisifikasikan dalam sikap dan prilaku
organisasi. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan
menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus
dan praktis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi
dan gaya berfikir seseorang.
I.1 Pengertian dan Definisi Paradigma
Dalam khasanah ilmu sosial,
ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh para pemikir sosiologi.
Salah satu diantaranya adalah G. Ritzer
yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang apa
yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus
dipelajari, pertanyaan apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya
pertanyaan-pertanyaan itu di ajukan dalam aturan-aturan apa yang harus diikuti
dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan kesatuan konsensus yang paling luas dalam suatu bidang
ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara
eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat didalamnya. Mengingat banyaknya definisi yang dibentuk oleh para
sosiolog, maka perlu ada pemilihan atau rumusan yang tegas mengenai definisi
paradigma yang hendak diambil oleh PMII. Hal ini perlu dilakukan untuk memberi
batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar
tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma.
Maka
pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak
untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan
membuat rumusan mengenai suatu masalah. Lewat paradigma ini pemikiran seseorang
dapat dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah.
Dengan kata lain, paradigma merupakan cara dalam mendekati “obyek kajianya (the
subject matter of particular discipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan.
Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada
asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realitas” dilihat.
Perbedaan paradigma yang digunakan oleh seseorang dalam memandang suatu
masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan dalam menyusun teori, membuat
konstruk pemikiran, cara pandang sampai pada aksi dan solusi yang diambil.
I.2 Pilihan Paradigma PMII
Disamping terdapat banyak pengertian mengenai
paradigma dalam ilmu sosial ada berbagai macam jenis paradigma. Melihat
realitas yang ada di masyarakat dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat
PMII baik secara sosiologis, politis dan antropologis, akan PMII memilih
paradigma kritis transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi.
I.3 Paradigma Kritis Transformatif PMII
Dari
penelusuran yang cermat atas paradigma kritis, terlihat bahwa paradigma kritis
sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia. Dengan demikian dia adalah
secular. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat
tuduhan secular jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari
tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan paradigma
kritis dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis
diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka berfikir dan metode analisis dalam
memandang persoalan. Dengan sendirinya dia harus diletakkan pada posisi diluar
ketentuan agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan mengfungsikan ajaran
agama yang sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dengan kata lain paradigma kritis
di PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam kehidupan dengan menjadikan
ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis.
Sebagaimana
dijelaskan di atas, pertama paradigma kritis berupaya menegakkan harkat dan
martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial
yang bersifat profan. Kedua, paradigma kritis melawan segala bentuk dominasi
dan penindasan. Ketiga, paradigma kritis membuka tabir dan selubung pengetahuan
yang menarik dan hegemonik. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh
Islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai
titik pijak paradigma kritis dikalangan warga PMII.
Contoh
yang paling kongkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang mengunakan
paradigma kritis dari berbagai intelektual islam, diantaranya:
1. Hassan Hanafi
Penerapan paradigma kritis
oleh Hassan Hanafi ini terlihat jelas dalam konstruksi pemikiranya terhadap
agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui Islam yang mengalami ketinggalan
dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis sosial. Menurutnya,
pemikiran tradisional Islam, dalam rangka menganalisis masyarakat selama ini
mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan. Dia menemukan kelemahan mendasar
dalam metodologi ini. Pada titik ini dia memberikan kritik tajam terhadap
metode tradisional teks yang telah mengalami ideologisasi.
Untuk
mengembalikan peran agama dalam menjawab problem sosial yang dihadapi
masyarakat, Hassan Hanafi mencoba menggunakan metode “kiri Islam” yaitu metode
pendefinisian realitas secara kongkrit untuk mengetahui siapa memiliki apa,
agar realitas berbicara dengan dirinya sendiri. Sebagai realisasi dari metode
ini, dia menawarkan “desakralisasi theology” dengan menjadikan theology sebagai
antropologi. Pemikiran ini dimaksudkan untuk menyelamatkan Islam agar tidak
semata-mata menjadi sistem kepercayaan (sebagai theology parexellence),
melainkan juga sebagai sistem pemikiran.
Usaha Hassan Hanafi ini
ditempuh dengna mengadakan rekrontruksi tehadap theology tradisional yang telah
mengalami pembekuan dengan memasukkan hemenutika dan ilmu sosial sebagai bagian
integral dari theology. Untuk menjelaskan theology menjadi antropologi, Hanafi
memaknai theology sebagai ilmu kalam. Kalam merupakan realitas manusiawi
sekaligus Ilahi. Kalam bersifat manusiawi karena merupakan wujud verbal dari
kehendak Allah ke dalam bentuk manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari
Allah. Dalam pemikiran Hanafi, kalam lebih bersifat “praktis” dari pada
“logis”, karena kalam-sebagai kehendak Allah-memiliki daya imperative bagi
siapapun kalam itu disampaikan.
Pandangan
Hanafi tentang theology ini berbeda dengan theology Islam yang secara
tradisional dimengerti sebagai ilmu yang berkenaan dengan pandangan mengenai
akidah yang benar. Mutakallimin sering disebut sebagai “ahl al-ra’yu wa
al-nadaar” yang muncul untuk menghadapi “ahl-albid’ah” yang mengancam kebenaran
akidah Islam. Dua kelompok ini akhirnya berhadapan secara dialektis. Akan
tetapi dialektika mereka bukanlah dialektika tindakan, tetapi dialektika
kata-kata. Gagasan ideologi sebagai antropologi yang disampaikan oleh Hassan
Hanafi sebenarnya justru ingin menempatkan ilmu kalam sebagai ilmu tentang
dialektika kepentingan orang-orang yang beriman dalam masyarakat tertentu.
Dalam
pemikiran Hassan Hanafi, ungkapan “theology menjadi antropologi” merupakan cara
ilmiah untuk mengatasi ketersingungan theology itu sendiri. Cara ini dilakukan
melalui pembalikan sebagaimana pernah dilakukan Karl Marx tehadap filsafat
Hegel. Upaya ini tampak secara provokatif dalam artikelnya “ideologi dan
pembangunan” lewat subjudul; dari Tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari
taqdir ke kehendak bebas, dan dari otoritas ke akal, dari theology ke tindakan,
dari kharisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke
futurology.
2. Mohammad Arkoun
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha
pembaharuan kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan
yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu
tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat muslim kontemporer. Pemikiran
Islam dianggapnya “naif’ karena mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung
tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang dibeikan dalam
wahyu Illahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang
diaktualisasikan dan dijelamakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan
penalaran khas masyaraakt tertentu ataupun dalam berbagai wacana khas ajaran
teologi dan fiqih tertentu. Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam
proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui,
melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru
didalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern, yang ingin dimasukkan arkoun ke
dalam pemikiran Islam.
Krena
kritiknya yang terlalu kritis ini, Arkoun sering membeikan jawaban diluar
kelaziman umat Islam (uncommon answer) ketika menjawab proble-proble kehidupan
yang dialami umat Islam. Jawaban seperti ini telihat jelas dalam penerapan tori
pengetahuan (theory of knowledge).
Teori
pengetahuan ini meliputi landasan epistemology kajian tentang Islam. Dalam hal
ini Arkoun membedakan berbagai berbagai wacana ideologis, wacana rasional dan
wacana profetis. Setiap wacana memiliki watak yang berbeda sehingga diperlukan
kesesuaian dengna wataknya. Selama ini orang dengan mudah menyatakan melakukan
kajian secara ilmiah, akan tetapi itu tidak jarang hanya merupakan proses
ideologis semata. Ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang muslim, melainkan
juga oleh orang-orang barat yang mengideologikan sikap meeka dalam memandang
Islam. Salah satu corak ideologi adalah unsur kemadekan (tidak dinamis),
resistensi (tidak kritis dan demi kekuatan (tidak transformatif).
Untuk
merealisasikan jawab tersebut Arkoun berusaha meletakkan dogma, interpretasi
dan teks secara proporsional. Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog terus-menerus
antara agama dengan realitas untuk menentukan wilayah-wilayah mana dari agama
yang bisa didialogkan dan dintrepretasikan sesuai dengan konteknya.
Kedua
pola pikir dari inteltual Islam di atas merupakan sedikit contoh yang bisa
dijadikan model bagaimana paradigma kritis diberlakukan dalam wilayah pemikiran
keagamaan. Disamping kedua pemikir Islam diatas sebenarnya masih banyak pemikir
lain yang menerapkan pemikiran kritis dalam mendekati agama, misalnya Abdullah
Ahmed An-naim, Asghar Ali Enggineer, Thiha Hussein, dan sebagainya.
Dari
kedua contoh diatas terlihat bahwa paradigma kritis sebenarnya beupaya
membebaskan manusia dengna semangat dan ajaran agama yang lebih fungsional.
Dengan kata lain, kalau paradigma kritis Barat berdasarkan pada semangat
revolusioner sekuler dan dorongan kepantingan sebagai dasar pijakan, paradigma
kritis PMII justru menjadikan nilai-nilai agama yang terjebak dalam dogmatisme
itu sebagai pijakan untuk membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang
kadang disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang distortif.
Jelas
ini terlihat ada pebedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara
pemikiran barat dengan Islam (yang diterapkan PMII). Namun demikian harus
diakui adanya persamaan antara keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan
teoritik dan semangat pembebasan yang terkandung didalamnya. Jika paradigma
kritis ini bisa diterakan dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan
akan bejalan dinamis, bejalannya proses pembentukan kultur demokratis dan
penguatan civil society akan segera dapat terwujud. Dan kenyataan ini terwujud
manakala masing-masing anggota PMII memahami secara mendalam pengetian,
kerangka paradigmamatik dan konsep teoritis dari paradigma kritis yang dibangun
oleh PMII.
Dalam
pandangan PMII, paradigma kritis saja tidak cukup untuk melakukan transformasi
sosial, karena paradigma kritis hanya berhenti pada dataran metodologis
konsepsional untuk mewujudkan masyarakat yang komunikatif dan sikap kritis
dalam memandang realitas.Paradigma kritis hanya mampu menelanjangi berbagai
tendensi ideologi, memeberikam perspektif kritis dalam wacana agama dan sosial,
namun ia tidak mampu memberikan perspektif perubahan pasca masyarakat
terbebaskan. Pasca seseorang terbebaskan melalui perspektif keitis, paradigma kritis
tidak memberikan tawaran yang praktis. Dengan kata lain, paradigma kritis hanya
mampu melakukan analisis tetapi tidak mampu melakukan organizing, menjembatani
dan memberikan orientasi kepada kelompok gerakan atau rakyat. Paradigma kritis
masih signifikan untuk digunakan sebagai alat analisis sosial, tetapi kurang
mampu untuk digunakan dalam perubahan sosial. Karena ia tidak dapat memberikan
perspektif dan orientasi sebagai kekuatan bersejarah dalam masyarakat untuk
bergerak. Karenanya, paradigma kritis yang digunakan di PMII adalah kritik yang
mampu mewujudkan perubahan sehingga menjadi paradigma kritis transformatif.
Paradigma kritis transformatif
PMII dipilih sebagai upaya menjembatani kekurangan-kekurangan yang ada dalam
paradigma kritis pada wilayah-wilayah turunan dari bacaan kritisnya terhadap
realitas. Dengan demikian paradigma kritis transformatif dituntut untuk
memiliki instrumen-instrumen gerak yang bisa digunakan oleh masyarakat PMII
mulai dari ranah filosofis sampai praksis.
I.4 Dasar Pemikiran Paradigma Kritis Transformatif PMII
Ada beberapa alasan yang
menyebabkan PMII harus memilih paradigma kritis sebagai dasar untuk bertindak
dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan
analisa.
Pertama, masyarakat Indonesia
saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern. Kesadaran
masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya masa kapitalisme
dan pola pikir positivistik modernisme. Pemikiran-pemikiran seperti ini
sekarang telah menjadi berhala yang mengharuskan semua orang untuk mengikatkan
diri padanya. Siapa yang tidak melakukan, dia akan ditinggalkan dan
dipimggirkan. Eksistensinyapun tidak diakui. Akibatnya jelas, kreatifitas dan
pola pikir manusia menjadi tidak berkembang. dalam kondisi seperti ini maka
penerapan paradigma kritis menjadi suatu keniscayaan.
Kedua, masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang majemuk, baik etnik, tradisi, kultur maupun kepergayaan.
Kondisi seperti ini sangat memerlukan paradigma kritis, karena paradigma ini
akan memberikan tempat yang sama bagi setiap individu maupun kelompok
masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreatifitasnya secara maksimal
melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dengan demikian potensi tradisi akan
bisa dikembangkan secara maksimal untuk kemanusiaan.
Ketiga, sebagai mana kita
ketahui selama pemerintahan orde baru berjalan sebuah sistem politik yang
represif dan otoriter denganpola yang hegemonik. Akibatnya ruang publik
masyarakat hilang karena direnggutoleh kekuatan negara. Dampak lanjutannya
adalah berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat, sehungga proses demokratisai
terganggu karena sikap kritis diberangus. Untuk mengembangkan budaya demokratis
dan memperkuat civil society dihadapan negara, maka paradigma kritis merupakan
alternatif yang tepat.
Keempat, selama pemerintahan
orba yang menggunakan paradigma keteraturan (order paradigma) dengan
teori-teori modern yang direpresentasikan melalui ideologi developmentalisme,
warga PMII mengalami proses marginalisasi secara hampir sempurna. Hal ini
karena PMII dianggap sebagai wakil dari masyarakat tradisional. Selai itu,
paradigma keteraturanpun memiliki konsekwensi logis bahwa pemerintah harus
menjaga harmoni dan keseimbangan sosialyang meniscayakan adanya gejolak sosial
yang harus ditekan sekecil apapun. Sementara perubahan harus berjalan secara
gradual dan perlahan. Dalam suasana demikian masa PMII secara sosiologis akan
sulit berkembang karena tidak memiliki ruang yang memadai untuk mengembangkan
diri, mengimplementasikan kreatifitas dan potensi dirinya.
Kelima, selain belenggu sosial
politik yang dilakukan oleh negara dan sistemkapitalisme global yang terjadi
akibat perkembangan situasi, faktor yang secara spesifik terjadi dikalangan
PMII adalah kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Dampaknya, secara
tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan
fungsu agama. Terjadi dogmatisasi agama yamg berdampak pada kesulitan
membedakan mana yang dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma. Agamapun
menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang
bagi kemajuan dan penegakan nilai kemanusiaan. Menjadi penting artinya sebuah
upaya dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui paradigma kritis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar