"Memastikan Pengetahuan adalah Kekuatan, Memastikan Gerakan Membawa Perubahan" Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Majene - Taqwa Intelektual dan Profesional

Minggu, 06 November 2016

PARADIGMA PMII "Kritis Transformatif"



       Paradigma merupakan suatu yang vital bagi pergerakan organisasi. Karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanisifikasikan dalam sikap dan prilaku organisasi. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praktis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berfikir seseorang.


 I.1 Pengertian dan Definisi Paradigma


 Dalam khasanah ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh para pemikir sosiologi. Salah satu diantaranya adalah  G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya pertanyaan-pertanyaan itu di ajukan dalam aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan kesatuan konsensus yang paling luas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat didalamnya. Mengingat banyaknya definisi yang dibentuk oleh para sosiolog, maka perlu ada pemilihan atau rumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak diambil oleh PMII. Hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma.

     Maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah. Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara dalam mendekati “obyek kajianya (the subject matter of particular discipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan. Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realitas” dilihat. Perbedaan paradigma yang digunakan oleh seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan dalam menyusun teori, membuat konstruk pemikiran, cara pandang sampai pada aksi dan solusi yang diambil.



I.2 Pilihan Paradigma PMII

 Disamping terdapat banyak pengertian mengenai paradigma dalam ilmu sosial ada berbagai macam jenis paradigma. Melihat realitas yang ada di masyarakat dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis dan antropologis, akan PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi.


I.3 Paradigma Kritis Transformatif PMII


     Dari penelusuran yang cermat atas paradigma kritis, terlihat bahwa paradigma kritis sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia. Dengan demikian dia adalah secular. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan secular jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka berfikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya dia harus diletakkan pada posisi diluar ketentuan agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan mengfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dengan kata lain paradigma kritis di PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam kehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis.

     Sebagaimana dijelaskan di atas, pertama paradigma kritis berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan. Kedua, paradigma kritis melawan segala bentuk dominasi dan penindasan. Ketiga, paradigma kritis membuka tabir dan selubung pengetahuan yang menarik dan hegemonik. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh Islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma kritis dikalangan warga PMII.

     Contoh yang paling kongkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang mengunakan paradigma kritis dari berbagai intelektual islam, diantaranya:



1.    Hassan Hanafi

    
Penerapan paradigma kritis oleh Hassan Hanafi ini terlihat jelas dalam konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui Islam yang mengalami ketinggalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis sosial. Menurutnya, pemikiran tradisional Islam, dalam rangka menganalisis masyarakat selama ini mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan. Dia menemukan kelemahan mendasar dalam metodologi ini. Pada titik ini dia memberikan kritik tajam terhadap metode tradisional teks yang telah mengalami ideologisasi.

     Untuk mengembalikan peran agama dalam menjawab problem sosial yang dihadapi masyarakat, Hassan Hanafi mencoba menggunakan metode “kiri Islam” yaitu metode pendefinisian realitas secara kongkrit untuk mengetahui siapa memiliki apa, agar realitas berbicara dengan dirinya sendiri. Sebagai realisasi dari metode ini, dia menawarkan “desakralisasi theology” dengan menjadikan theology sebagai antropologi. Pemikiran ini dimaksudkan untuk menyelamatkan Islam agar tidak semata-mata menjadi sistem kepercayaan (sebagai theology parexellence), melainkan juga sebagai sistem pemikiran.

Usaha Hassan Hanafi ini ditempuh dengna mengadakan rekrontruksi tehadap theology tradisional yang telah mengalami pembekuan dengan memasukkan hemenutika dan ilmu sosial sebagai bagian integral dari theology. Untuk menjelaskan theology menjadi antropologi, Hanafi memaknai theology sebagai ilmu kalam. Kalam merupakan realitas manusiawi sekaligus Ilahi. Kalam bersifat manusiawi karena merupakan wujud verbal dari kehendak Allah ke dalam bentuk manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari Allah. Dalam pemikiran Hanafi, kalam lebih bersifat “praktis” dari pada “logis”, karena kalam-sebagai kehendak Allah-memiliki daya imperative bagi siapapun kalam itu disampaikan.

     Pandangan Hanafi tentang theology ini berbeda dengan theology Islam yang secara tradisional dimengerti sebagai ilmu yang berkenaan dengan pandangan mengenai akidah yang benar. Mutakallimin sering disebut sebagai “ahl al-ra’yu wa al-nadaar” yang muncul untuk menghadapi “ahl-albid’ah” yang mengancam kebenaran akidah Islam. Dua kelompok ini akhirnya berhadapan secara dialektis. Akan tetapi dialektika mereka bukanlah dialektika tindakan, tetapi dialektika kata-kata. Gagasan ideologi sebagai antropologi yang disampaikan oleh Hassan Hanafi sebenarnya justru ingin menempatkan ilmu kalam sebagai ilmu tentang dialektika kepentingan orang-orang yang beriman dalam masyarakat tertentu.

     Dalam pemikiran Hassan Hanafi, ungkapan “theology menjadi antropologi” merupakan cara ilmiah untuk mengatasi ketersingungan theology itu sendiri. Cara ini dilakukan melalui pembalikan sebagaimana pernah dilakukan Karl Marx tehadap filsafat Hegel. Upaya ini tampak secara provokatif dalam artikelnya “ideologi dan pembangunan” lewat subjudul; dari Tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari taqdir ke kehendak bebas, dan dari otoritas ke akal, dari theology ke tindakan, dari kharisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology.



2.      Mohammad Arkoun



Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha pembaharuan kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat muslim kontemporer. Pemikiran Islam dianggapnya “naif’ karena mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang dibeikan dalam wahyu Illahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasikan dan dijelamakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan penalaran khas masyaraakt tertentu ataupun dalam berbagai wacana khas ajaran teologi dan fiqih tertentu. Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui, melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru didalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern, yang ingin dimasukkan arkoun ke dalam pemikiran Islam.

     Krena kritiknya yang terlalu kritis ini, Arkoun sering membeikan jawaban diluar kelaziman umat Islam (uncommon answer) ketika menjawab proble-proble kehidupan yang dialami umat Islam. Jawaban seperti ini telihat jelas dalam penerapan tori pengetahuan (theory of knowledge).

     Teori pengetahuan ini meliputi landasan epistemology kajian tentang Islam. Dalam hal ini Arkoun membedakan berbagai berbagai wacana ideologis, wacana rasional dan wacana profetis. Setiap wacana memiliki watak yang berbeda sehingga diperlukan kesesuaian dengna wataknya. Selama ini orang dengan mudah menyatakan melakukan kajian secara ilmiah, akan tetapi itu tidak jarang hanya merupakan proses ideologis semata. Ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang muslim, melainkan juga oleh orang-orang barat yang mengideologikan sikap meeka dalam memandang Islam. Salah satu corak ideologi adalah unsur kemadekan (tidak dinamis), resistensi (tidak kritis dan demi kekuatan (tidak transformatif).

     Untuk merealisasikan jawab tersebut Arkoun berusaha meletakkan dogma, interpretasi dan teks secara proporsional. Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog terus-menerus antara agama dengan realitas untuk menentukan wilayah-wilayah mana dari agama yang bisa didialogkan dan dintrepretasikan sesuai dengan konteknya.

     Kedua pola pikir dari inteltual Islam di atas merupakan sedikit contoh yang bisa dijadikan model bagaimana paradigma kritis diberlakukan dalam wilayah pemikiran keagamaan. Disamping kedua pemikir Islam diatas sebenarnya masih banyak pemikir lain yang menerapkan pemikiran kritis dalam mendekati agama, misalnya Abdullah Ahmed An-naim, Asghar Ali Enggineer, Thiha Hussein, dan sebagainya.

     Dari kedua contoh diatas terlihat bahwa paradigma kritis sebenarnya beupaya membebaskan manusia dengna semangat dan ajaran agama yang lebih fungsional. Dengan kata lain, kalau paradigma kritis Barat berdasarkan pada semangat revolusioner sekuler dan dorongan kepantingan sebagai dasar pijakan, paradigma kritis PMII justru menjadikan nilai-nilai agama yang terjebak dalam dogmatisme itu sebagai pijakan untuk membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang kadang disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang distortif.

     Jelas ini terlihat ada pebedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara pemikiran barat dengan Islam (yang diterapkan PMII). Namun demikian harus diakui adanya persamaan antara keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan teoritik dan semangat pembebasan yang terkandung didalamnya. Jika paradigma kritis ini bisa diterakan dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan akan bejalan dinamis, bejalannya proses pembentukan kultur demokratis dan penguatan civil society akan segera dapat terwujud. Dan kenyataan ini terwujud manakala masing-masing anggota PMII memahami secara mendalam pengetian, kerangka paradigmamatik dan konsep teoritis dari paradigma kritis yang dibangun oleh PMII.

     Dalam pandangan PMII, paradigma kritis saja tidak cukup untuk melakukan transformasi sosial, karena paradigma kritis hanya berhenti pada dataran metodologis konsepsional untuk mewujudkan masyarakat yang komunikatif dan sikap kritis dalam memandang realitas.Paradigma kritis hanya mampu menelanjangi berbagai tendensi ideologi, memeberikam perspektif kritis dalam wacana agama dan sosial, namun ia tidak mampu memberikan perspektif perubahan pasca masyarakat terbebaskan. Pasca seseorang terbebaskan melalui perspektif keitis, paradigma kritis tidak memberikan tawaran yang praktis. Dengan kata lain, paradigma kritis hanya mampu melakukan analisis tetapi tidak mampu melakukan organizing, menjembatani dan memberikan orientasi kepada kelompok gerakan atau rakyat. Paradigma kritis masih signifikan untuk digunakan sebagai alat analisis sosial, tetapi kurang mampu untuk digunakan dalam perubahan sosial. Karena ia tidak dapat memberikan perspektif dan orientasi sebagai kekuatan bersejarah dalam masyarakat untuk bergerak. Karenanya, paradigma kritis yang digunakan di PMII adalah kritik yang mampu mewujudkan perubahan sehingga menjadi paradigma kritis transformatif.

Paradigma kritis transformatif PMII dipilih sebagai upaya menjembatani kekurangan-kekurangan yang ada dalam paradigma kritis pada wilayah-wilayah turunan dari bacaan kritisnya terhadap realitas. Dengan demikian paradigma kritis transformatif dituntut untuk memiliki instrumen-instrumen gerak yang bisa digunakan oleh masyarakat PMII mulai dari ranah filosofis sampai praksis.



I.4 Dasar Pemikiran Paradigma Kritis Transformatif PMII


Ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memilih paradigma kritis sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa.

Pertama, masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern. Kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya masa kapitalisme dan pola pikir positivistik modernisme. Pemikiran-pemikiran seperti ini sekarang telah menjadi berhala yang mengharuskan semua orang untuk mengikatkan diri padanya. Siapa yang tidak melakukan, dia akan ditinggalkan dan dipimggirkan. Eksistensinyapun tidak diakui. Akibatnya jelas, kreatifitas dan pola pikir manusia menjadi tidak berkembang. dalam kondisi seperti ini maka penerapan paradigma kritis menjadi suatu keniscayaan.

Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, baik etnik, tradisi, kultur maupun kepergayaan. Kondisi seperti ini sangat memerlukan paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreatifitasnya secara maksimal melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dengan demikian potensi tradisi akan bisa dikembangkan secara maksimal untuk kemanusiaan.

Ketiga, sebagai mana kita ketahui selama pemerintahan orde baru berjalan sebuah sistem politik yang represif dan otoriter denganpola yang hegemonik. Akibatnya ruang publik masyarakat hilang karena direnggutoleh kekuatan negara. Dampak lanjutannya adalah berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat, sehungga proses demokratisai terganggu karena sikap kritis diberangus. Untuk mengembangkan budaya demokratis dan memperkuat civil society dihadapan negara, maka paradigma kritis merupakan alternatif yang tepat.

Keempat, selama pemerintahan orba yang menggunakan paradigma keteraturan (order paradigma) dengan teori-teori modern yang direpresentasikan melalui ideologi developmentalisme, warga PMII mengalami proses marginalisasi secara hampir sempurna. Hal ini karena PMII dianggap sebagai wakil dari masyarakat tradisional. Selai itu, paradigma keteraturanpun memiliki konsekwensi logis bahwa pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan sosialyang meniscayakan adanya gejolak sosial yang harus ditekan sekecil apapun. Sementara perubahan harus berjalan secara gradual dan perlahan. Dalam suasana demikian masa PMII secara sosiologis akan sulit berkembang karena tidak memiliki ruang yang memadai untuk mengembangkan diri, mengimplementasikan kreatifitas dan potensi dirinya.

Kelima, selain belenggu sosial politik yang dilakukan oleh negara dan sistemkapitalisme global yang terjadi akibat perkembangan situasi, faktor yang secara spesifik terjadi dikalangan PMII adalah kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Dampaknya, secara tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsu agama. Terjadi dogmatisasi agama yamg berdampak pada kesulitan membedakan mana yang dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma. Agamapun menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan penegakan nilai kemanusiaan. Menjadi penting artinya sebuah upaya dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui paradigma kritis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar